Rabu, 16 September 2009

PELATIHAN BERBASIS ON-LINE SEBAGAI UPAYA INOVATIF DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEGAWAI NEGERI DI DAERAH YANG BERKUALITAS

Mukhlis Abidi

Seiring dengan kebijakan otonomi daerah maka pegawai negeri sipil yang memiliki basis di daerah diintegrasikan ke pemerintah daerah. Segala urusan yang berkenaan dengan pegawai negeri di daerah menjadi tanggung jawab daerah dari mulai perekrutan, pembinaan, penggajian, dan pelatihan.
Dalam bidang pelatihan daerah kini mempunyai kewenangan untuk melakukan pelatihan sendiri sesuai dengan kebutuhan di Daerah. Maka pendirian diklat-diklat di Daerah dimasa datang mungkin bukan sesuatu hal yang mengejutkan. Sementara itu lembaga diklat pusat akan sulit memaksakan pelayanannya kepada daerah untuk mengikuti latihan-latihan yang dilakukan oleh Departemen-departemen terkait. Sekarang ini banyak pemerintah daerah yang merasakan sistem pelatihan selama ini tidak responsif terhadap perkembangan dan kebutuhan daerah. Diklat fungsional yang dulunya terpusat di Departemen akan beralih kepada diklat di Propinsi.
Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pusat seharusnya segera merubah strategi, sistem dan bentuknya sehingga pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Pusat tetap diminati oleh daerah karena Pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh Pusat tetap memiliki arti penting, paling tidak ada dua dimensi dari pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah Pusat. Pertama, dimensi pemerataan peningkatan standar kemampuan pegawai negeri di daerah. Standar kompetensi untuk pegawai negeri ini sangat penting terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya kemampuan pejabat eselon IV di Sorong, seharusnya sama atau hampir sama dengan kemampuan eselon IV di Surabaya. Standar kemampuan ini penting karena akan berujung pada pelayanan yang bermutu, dimana masyarakat akan mendapat perlakuan yang kurang lebih sama jika dilayani oleh pemerintah daerah di tempat yang berbeda. Kedua, dimensi perekat, dimana PNS merupakan faktor yang cukup kuat jika digunakan sebagai alat perekat negara kesatuan Republik Indonesia. Karir PNS tidak dibatasi oleh sekat-sekat kedaerahan tetapi setiap PNS memiliki akses untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain selama itu dibutuhkan.
Saat ini pelatihan yang diselenggarakan pemerintah Pusat seharusnya tetap dipertahankan, karena masih sangat diperlukan oleh daerah-daerah, terbukti diklat-diklat yang diselenggarakan oleh departemen-departemen di Pusat masih diminati oleh pegawai daerah. Tetapi disisi lain daerah merasakan beratnya biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan di Pusat atau di jakarta. Untuk itu Pusat sebaiknya memikirkan langkah inovatif untuk melakukan perubahan managemen pelatihan lebih baik. Salah satu cara adalah dengan menerapkan pelatihan berbasis on-line.


Paradigma Baru tentang Pelatihan
Sistem pelatihan yang berbasis on-line didasarkan karena terjadinya proses transformasi ke dalam paradigma baru tentang pelatihan. Terdapat lima area transformasi yang saat ini terjadi, yaitu :
Pertama, transformasi dari training ke performance (from training to performance). Transformasi yang pertama ini menganggap pelatihan lebih difokuskan kepada out come. Para pelatih sangat bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai; mereka harus bisa diaplikasikan dalam pekerjaannya yang pada akhirnya akan menguntungkan organisasi.
Kedua, transformasi yang kedua adalah dari di dalam kelas ke kapan saja dan dimana saja (from the classroom to anytime… anywhere). Waktu dan tempat latihan tidak lagi dibatasi, karena proses pelatihan dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja dibutuhkan. Hal ini sangat membantu baik bagi para trainers maupun trainee yang sangat sulit meninggalkan waktunya beralama-lama. Karena peserta pelatihan dapat mengatur waktunya sendiri dan bisa dilakukan di rumah, kantor, atau di hotel dll.
Ketiga, transformasi dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan. Fasilitas fisik seperti ruangan, peralatan presentasi, projector dll diganti dengan sistem jaringan yang berbasis on-line, dapat berbasis internet maupun intranet.
Keempat, transformasi lainnya adalah from cycle time to real time. Lama pelatihan tidak lagi dibatasi oleh jumlah hari atau jam, tetapi sangat tergantung dari kemampuan peserta pelatihan untuk mengakses pelatihan, dapat dilakukan secara cepat maupun lambat.

Sistem pelatihan berbasis on-line
Pelatihan berbasis on-line adalah proses learning yang menggunakan teknologi online baik berupa website, internet maupun intranet yang menyediakan berbagai solusi untuk berbagai pemecahan masalah dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kinerja.
Pelatihan online berlandaskan kepada tiga kriteria utama, yaitu:
1. Pelatihan on-line adalah jaringan yang dibuat dengan berbagai kemudahan untuk selalu di update, mudah untuk didistribusikan dan digunakan untuk saling tukar pengetahuan dan informasi.
2. Pengetahuan dan informasi dikirim dan tersedia dengan menggunakan standar teknologi internet,
3. Fokus pelatihan on-line didasarkan pada pandangan yang luas tentang learning itu sendiri.

Proses Pelatihan berbasis on-line dalam pemerintahan daerah
Pesatnya jumlah pengguna komputer dan internet di Indonesia sudah semakin terdistribusi dengan baik, bukan saja di kalangan bussiness tetapi juga dikalangan organisasi birokrasi. Bahkan sebagian besar pemerintah daerah telah memiliki situs website untuk menampilkan potensi yang mereka miliki dalam rangka memikat investor baik dalam maupun luar negeri.
Namun sejauh ini pemanfaatan teknologi baik website maupun internet belum dilakukan secara optimal, bahkan website yang ada tidak pernah diupdate, internet yang seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik hanya menjadi formalitas bahwa di dalam organisasi tersebut telah terinstall internet.
Pemerintah Pusat harusnya melihat infrastruktur yang ada ini untuk dimanfaatkan sebagai basis untuk melakukan pelatihan-pelatihan bagi pegawai negeri di daerah. Konsep pelatihan yang berbasiskan pada internet ini memiliki beberapa keunggulan terutama cost yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang selama ini dikeluhkan karena terlalu mahal.
Pelatihan ini memadukan berbagai konsep pelatihan berbasiskan sistem on-line untuk memungkinkan para peserta secara mudah untuk mengaksesnya. Tetapi konsep ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat melalui departemen antara lain :
1. Membuat website khusus untuk pelatihan pegawai maupun pejabat pemerintah daerah;
2. Website tersebut berisi tentang manfaat, instruksi penggunaan, website, biodata pelatih, materi pelatih dan informasi lainnya yang mendukung.
3. Pendaftaran peserta bisa dilakukan secara online dan pembayarannya dapat dilakukan dengan transfer melalui bank yang ditunjuk;
4. Setelah peserta mendaftarkan diri maka penyedia training memberikan password pribadi untuk dapat mengakses website lebih lanjut;
5. Agar terjadi komunikasi dua arah, maka fasilitas website dapat di lengkapi dengan camera, atau dengan fasilitas website yang menyediakan formulir untuk bertanya ataupun menanggapi materi yang telah diberikan.

Keunggulan sistem pelatihan berbasis on-line
Beberapa keunggulan dari sistem pelatihan berbasisi on-line antara lain :
1. Pelatihan ini lebih menghemat biaya, karena peserta tidak perlu hadir ke tempat penyelenggaraan, cukup dengan duduk didepan komputer dan mengaksesnya. Biaya perjalanan dinas, sewa kamar hotel dan biaya-biaya lainnya dapat dialihkan untuk kebutuhan lainnya;
2. Proses belajar mengajar dapat dilakukan kapan saja baik pada saat jam kantor maupun pada saat dirumah, diperjalanan maupun dari mana saja selama tersedianya fasilitas internet;
3. Jumlah peserta tidak terbatas, sehingga tidak lagi menunggu giliran siapa yang akan mengikuti pelatihan terlebih dahulu;
4. Sumber dana yang didapat oleh pemerintah selain dari peserta pemerintah (penyelenggara) bisa mengundang iklan dalam websitr tersebut.
5. Bagi pemerintah pusat (departemen) dengan sendirinya juga mengurangi biaya biaya perjalanan para pelatih. Selama ini para pelatih kebanyakan adalah pejabat-pejabat birokrasi yang menduduki eselon tertentu. Dengan sistem ini maka para pelatih tidak perlu berlama-lama meninggalkan tugas lainnya. Karena para pelatih bisa saja mengakses dan menjawab secara langsung pertanyaan-pertanyaan dari para peserta.

Empat Hal sebagai pendukung kesuksesan pelatihan berbasis on-line
Kesuksesan pelatihan berbasis training harus didukung oleh infrastruktur jaringan yang baik, sistem jaringan yang cepat dan baik menggunakan kabel, maupun satelit. Namun hal ini saja tidak cukup untuk mendukung terciptanya sistem latihan berbasis on-line yang baik tanpa didukung oleh beberapa hal yaitu antara lain :
Budaya
Budaya kerja diyakini sebagai faktor penting untuk terwujudnya suatau program kegiatan. Untuk itu budaya yang diperlukan adalah budaya yang tidak gagap terhadap teknologi. Organisasi harus terus menerus menciptakan budaya yang kondusif untuk belajar. Budaya belajar terus ditingkatkan, karena belajar adalah proses yang dapat dilakukan dimana saja, baik disekolah, dirumah, dikantor maupun diluar kesemuanya itu.
Kepemimpinan
Tanpa didukung oleh pemimpin yang juga interest terhadap program pelatihan berbasis training maka pelatihan ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemimpin tidak saja menganjurkan tetapi juga mencontohkan dengan baik penggunaan fasilitas pelatihan berbasis on-line dengan baik.
Komunikasi
Hal penting lainnya dalam mewujudkan pelatihan berbasis on-line dengan baik, maka perlu dibangun komunikasi dua arah baik sesama peserta training maupun peserta pelatihan dengan para pelatih.
Perubahan
Perubahan merupakan kata kunci sukses lainnya yang harus diyakini. Bahwa perubahan itu adalah abadi karena kita tidak bisa tetap berada pada kondisi status quo, perubahan harus terus diupayakan untuk merespon berbagai permasalahan yang ada disekitar kita, termasuk perubahan sistem pelatihan.

Penutup
Konsep training berbasis pada sistem on-line ini merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan, tetapi perkembangan teknologi terutama teknologi informasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihalang-halangi. Dengan teknologi itulah kita dapat mendapat keuntungan yang luar biasa baik dari sisi pengetahuan maupun budaya. Perubahan akan terjadi seiring dengan perkembangan teknologi itu sendiri.
Untuk itu diperlukan sumber daya manusia yang hadal yang mampu menghadapi berbagai perubahan dan tuntutan lingkungan yang terjadi begitu cepat.
Kiranya perlu suatu kesungguhan dari pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah agar terus menerus meningkatkan kwalitas sumber daya manusia demi terselenggaranya penyelenggaraan pemerintah yang baik dalam melayani masyarakat.
Sistem pelatihan berbasis on line ini merupakan suatu konsep yang masih perlu dirinci dan didiskusikan lebih lanjut.

Jakarta, 30 Mei 2002

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENDUKUNG PDAM MENCAPAI TARGET 10 JUTA SAMBUNGAN BARU

DR. M.P. Tumanggor, Ketua Umum Apkasi

Pemerintah telah memberikan insentif berupa penghapusan hutang bunga dan denda hutang PDAM senilai Rp. 3.15 triliun yang akan diberlakukan secara efektif mulai Desember 2008. Penyelesaian Piutang Negara pada PDAM tersebut bertujuan untuk mengurangi beban keuangan PDAM, memperbaiki manajemen PDAM dan membantu PDAM untuk mendapatkan sumber pembiayaan untuk keperluan investasi. Mekanisme penghapusan hutang tersebut dilakukan melalui mekanisme debt swap to investment yaitu penghapusan hutang yang dilakukan dengan mekanisme pertukaran sebagian tunggakan non-pokok dengan kegiatan/proyek investasi yang dibiayai dari dana PDAM dan/atau APBD.
Kebijakan penghapusan sebagian utang PDAM oleh Pemerintah perlu kita berikan apresiasi mengingat hutang PDAM selama ini selalu menjadi beban bagi PDAM dalam memberikan pelayanan penyediaan air bersih kepada masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari penyelesaian piutang negara tersebut, PDAM diwajibkan memenuhi pra kondisi dengan ketentuan:
1. Menetapkan tarif lebih besar dari biaya dasar;
2. Pengangkatan direksi dilakukan melalui fit and proper test oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan;
3. Membuat business plan untuk periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 yang disusun oleh PDAM dan disahkan oleh Kepala Daerah.
Selain ketiga hal tersebut, Wakil Presiden M Jusuf Kalla menargetkan hingga tahun 2011 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus dapat menambah 10 juta sambungan baru yang bisa melayani 50 juta jiwa. Dengan demikian utang non-pokok PDAM berupa bunga dan denda akan dipakai sebagai modal awal dalam penyertaan modal negara (debt swap to equity) untuk menambah 10 juta sambungan baru tersebut.
Instruksi Wakil Presiden tersebut sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan oleh PBB dalam upaya mengurangi kemiskinan dengan cara menetapkan target-target tertentu yang harus dicapai sampai tahun 2015 termasuk melalui pemberian akses pada sarana air minum dan sanitasi yang sehat sebesar 80% untuk penduduk perkotaan dan 60% untuk penduduk perdesaan.
Untuk mencapai target tersebut dibutuhkan komitmen bersama antar seluruh stakeholder yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat dan Pihak Swasta dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan penyediaan air minum dan kendala-kendala yang dihadapi PDAM pada umumnya.

Permasalahan Umum yang dihadapi PDAM

Secara umum permasalahan penyediaan air bersih oleh PDAM di daerah terkait dengan kondisi sarana untuk pengembangan sistem penyediaan air minum yang membutuhkan biaya investasi cukup besar. Nilai investasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan program 10 juta sambungan baru diperlukan dana sekitar Rp. 85 Triliyun. Sementara kemampuan APBN dan APBD selama ini belum mencapai besaran tersebut. Sedangkan untuk pembiayaan dengan pinjaman terutama dari luar negeri sulit untuk dilakukan mengingat pengalaman selama ini banyak PDAM yang tidak mampu membayar hutangnya.
Masalah lainnya adalah tarif PDAM yang kebanyakan lebih rendah dari biaya produksi yang komponen biayanya selalu meningkat. Dengan kondisi tarif seperti ini PDAM akan sulit untuk meningkatkan kinerja pelayananya termasuk memperluas cakupan layanannya.
Memang bagi Kepala Daerah, menaikan tarif PDAM merupakan kebijakan yang tidak populer karena akan selalu mendapat protes. Apalagi jika masalah penyesuaian tarif dicampuri aspek politik yang lebih kental, walaupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.16 tahun 2005 diatur penetapan tarif merupakan kewenangan bupati dan walikota.
Pihak yang merasa keberatan dengan adanya penyesuaian tarif PDAM beranggapan bahwa penyediaan air bersih bukan semata-mata untuk meningkatkan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melainkan harus dipandang sebagai hak dasar warga negara yang harus dipenuhi. Pandangan seperti ini tentunya tidak dapat diterjemahkan bahwa penyesuaian tarif PDAM secara wajar adalah menyengsarakan rakkyat. Justru dengan penyesuaian tarif yang diimbangi dengan peningkatan kinerja pelayanannya, maka akses terhadap air bersih untuk masyarakat akan semakin luas. Sementara jika PDAM dibiarkan terus merugi, maka bukan tidak mungkin pelayanan air minum yang ada bukannya bertambah justru akan berkurang mengingat kenaikan biaya-biaya komponen produksi selalu meningkat.

Dukungan dan Peran Kepala Daerah Untuk Mencapai Target 10 Juta Sambungan Baru

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, air minum merupakan salah satu sub bidang pekerjaan umum yang menjadi urusan bersama antar Pusat dan Daerah. Urusan Daerah Kabupaten/Kota meliputi:
1. Pengaturan berupa pembuatan kebijakan dan strategi pengembangan air minum sampai dengan pemberian izin pneyelengaraan pengembangan SPAM di Kabupaten.
2. Pembinaan yang meliputi kewenangan untuk penyelesaian masalah, peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum.
3. Pembangunan, antara lain berupa pengembangan SPAM di Kabupaten, bantuan teknis kepada Kecamatan serta kelompok masyarakat, termasuk penyediaan air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air.
4. Pengawasan yang mencakup seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM, evaluasi terhadap penyelenggaraan SPAM dan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriterianya.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki Daerah Kabupaten/Kota, Peran Pemerintah Daerah menjadi cukup penting untuk mendukung tercapainya target 10 juta sambungan baru air bersih, Peran Kepala Daerah sangat diperlukan dalam hal:
1. Pemerintah Daerah dan DPRD perlu mendorong upaya-upaya penyehatan PDAM yang dilakukan secara terpadu baik dari sisi PDAM maupun dari sisi Pemerintah Pusat. Dengan menggabungkan seluruh potensi tersebut diatas, diharapkan penyehatan PDAM dapat lebih cepat terealisir.
2. Tidak mewajibkan penyetoran sebesar 60% hasil keuntungan yang diperoleh PDAM dari pelayanan distribusi air minum untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama cakupannya kurang dari 75% sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 690/7027/SJ.
3. Pola pembiayaan PDAM pada masa lalu yang bertumpu pada anggaran khususnya pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri semakin berkurang. Untuk itu, diperlukan inovasi pola pembiayaan untuk menggali berbagai sumber pembiayaan yang belum dimanfaatkan khususnya sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Untuk itu, perlu dipertimbangkan pengalokasian dana APBD ke PDAM dalam bentuk subsidi, bukan penyertaan modal seperti yang dilakukan selama ini. Namun pemberian subsidi ini perlu memperhatikan kondisi PDAM yang terus merugi serta dilakukan dalam jangka waktu tertentu sampai PDAM dapat berdiri sendiri.
4. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan stakeholder lainya seperti LSM dan Lembaga-Lembaga Donor perlu memfasilitasi program-program penyediaan air minum di perdesaan dengan sistem instalasi sederhana diutamakan bagi desa atau kelurahan yang rawan atau kritis air bersih. Selain meringankan beban warga dan memberikan kemudahan akses terhadap air minum dan air bersih dan murah, juga dengan adanya isntalasi sederhana tersebut kelak dapat dilanjutkan dengan jaringan PDAM permanen.
5. Dengan semangat reinventing government, Pemerintah Daerah berupaya untuk menyertakan pihak swasta untuk meningkatkan efisiensi penyediaan air minum terutama dalam melakukan pendistribusian air minum kepada masyarakat. Pemerintah Daerah menyadari bahwa penyediaan air minum sebagai bagian dari layanan publik tidak selalu menjadi monopoli pemerintah, sehingga pemerintah berhak atau berkewajiban mengikutsertakan pihak-pihak lain, misalnya masyarakat dan pihak swasta sebagai stake holder utama (privatisasi). Namun upaya privatisasi juga perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian jangan sampai PDAM sebagai Badan Usaha Milik Daerah menjadi kerdil.
6. Diperlukan suatu aransemen layanan publik yang mensinergikan peran pemerintah, pihak swasta dan masyarakat sebagai upaya memenuhi kebutuhan air minum dan air bersih pelayanan menjadi lebih efisien, efektif dan sesuai dengan kebutuhan. Salah satu aransemen yang dapat dipertimbangkan dalam penyediaan air minum adalah melalui Intergovernmental Agreement. Pendekatan ini menekankan pada kerjasama antar daerah dimana suatu pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah lain untuk memenuhi kebutuhan suatu layanan yang tidak atau belum dimiliki oleh daerah itu sendiri. Kerjasama seperti ini biasanya dilakukan antara daerah-daerah yang memiliki masalah yang sama, sedangkan untuk menyelenggarakan sendiri dirasa belum perlu, sehingga dengan kerjasama ini dirasa lebih efektif dan efisien.


Jakarta, 17 Desember 2008

PENINGKATAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

DR. M. P. TUMANGGOR,
KETUA UMUM BKKSI

I. Pendahuluan

Berdasarkan surat Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Nomor: 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan sebanyak 199 Kabupaten sebagai Daerah Tertinggal. Dari 199 Kabupaten tersebut sebanyak 62% atau 123 Kabupaten berada di Kawasan Timur Indonesia. Sedangkan sisanya berada di wilayah Sumatera yaitu sebesar 29% (58 Kabupaten) serta Jawa dan Bali sebanyak 18 Kabupaten (9%).
Penetapan 199 Kabupaten sebagai daerah tertinggal, dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik.
Jika merujuk pada definisi daerah tertinggal sebagaimana dinyatakan dalam Kepmen PDT diatas, dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh Kabupaten di Indonesia relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal.
Secara umum permasalahan yang ada di Daerah tertinggal adalah kualitas SDM yang relatif lebih rendah di bawah rata-rata nasional. Hal ini diakibatkan terbatasnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Sedangkan daerah tertinggal yang letaknya terpencil, permasalahannya ada pada kelangkaan sarana dan prasarana yang tersedia. Khusus daerah tertinggal yang berada di daerah perbatasan antar negara yang berjumlah 26 Kabupaten, pendekatan pembangunannya lebih menekankan pada aspek keamanan (security approach) dari pada berorientasi sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan yang sangat lebar dengan daerah perbatasan negara lain. Selain masalah tersebut, keterbatasan akses permodalan, pasar, informasi dan teknologi bagi upaya pengembangan ekonomi lokal juga menjadi masalah tersendiri. Disamping terdapat gangguan keamanan dan bencana yang menyebabkan kondisi daerah tidak kondusif untuk berkembang.

II. Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Daerah Tertinggal

Untuk memperkecil jumlah Kabupaten yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, Pemerintah sedang melaksanakan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), yaitu sebuah program yang memfasilitasi pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan dan pengembangan daerah-daerah tertinggal dan khusus.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah adalah dengan memperkuat kapasitas pemerintah kabupaten agar mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Peningkatan kapasitas, diarahkan untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah daerah dan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang pada hakekatnya memberikan kewenangan pembangunan daerah kepada Provinsi maupun Kabupaten/Kota, sedangkan Pemerintah berfungsi sebagai, motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan pada daerah tertinggal.
Pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam upya mepercepat pembangunan daerah tertinggal secara efektif dan berkelanjutan tidak dapat dilakukan hanya dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan dan aparat Pemerintah Daerah saja, tanpa diimbangi dengan perubahan sistem yang lebih baik. Dengan demikian, pengembangan dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah mencakup:
1. Perlunya perubahan sistem dengan menata kembali sejumlah aturan dan kebijakan-kebijakan nasional yang mendukung program-program percepatan pembangunan, mengingat selama ini kebijakan pembangunan pada masa lalu lebih berpusat pada pertumbuhan ekonomi semata sehingga berdampak pada kesenjangan yang begitu tajam antar daerah.
2. Pengembangan kapasitas pada tingkat kelembagaan di daerah, yang mencakup perbaikan struktur organisasi, proses-proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme kerja, instrumen manajemen, tidak akan berhasil efektif tanpa diimbangi dengan penataan kelembagaan lainnya, seperti Pemerintah Pusat, dunia usaha, masyarakat terkait, hingga lembaga donor dan unsur masyarakat.
Hal ini diperlukan untuk memberikan ruang kepada seluruh stakeholder agar dapat memberikan kontribusi dan peran masing-masing. Walaupun selama ini, banyak program-program yang dilakukan oleh lembaga di luar pemerintah seperti lembaga donor, perguruan tinggi dan LSM namun belum terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Sehingga seringkali hanya daerah-daerah tertentu saja yang mendapat bantuan program dari lembaga donor.
3. Pengembangan kapasitas pada tingkat sumber daya manusia perlu diawali dengan peningkatan kemampuan aparat pemerintah daerah. Sebagai unsur terdepan birokrasi yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Peningkatan kapasitas aparat Pemda diarahkan agar lebih responsif terhadap tantangan dan peluang baru, tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin dan memiliki gagasan-gagasan inovatif. Aparat Pemda juga harus memiliki kompetensi memberikan pelayanan secara adil dan inklusif, serta kemampuan untuk memberdayakan masyarakat atau stakeholders. Maka hal yang paling mendasar untuk mereformasi birokrasi pemerintah (Stephen H. Rhinesmith; 1966) adalah bagaimana bisa mengubah mindset dan perilaku dan para pelaku birokrasi publik. Untuk itu diperlukan suatu perubahan norma atau nilai-nilai pelayanan kepada birokrasi berupa perubahan budaya (mindset) pelayanan yang jauh lebih humanis, egalitarian, dan nondiskriminatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

III. Peran Asosiasi/Badan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Peningkatan Kapasitas Daerah Tertinggal

Pengembangan dan peningkatan kapasitas daerah tertinggal dapat diupayakan dengan pendekatan kerjasama antar daerah melalui pertukaran informasi, pengalaman dan keahlian yang dikemas dalam program Best Practices Transfer. Salah satu negara di Asia yang melaksanakan program ini adalah negara bagian Gujarat di India yang difasilitasi oleh City Manager Association of Gujarat (CMAG). CMAG menyelenggarakan forum pertukaran best practices antar pemerintah daerah dalam bidang pelayanan publik, pelayanan kesehatan, infrastruktur, dll. Sedangkan di Indonesia, Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) juga mengadopsi progam tersebut.
Program best practices transfer pada dasarnya merupakan salah satu upaya memberikan kontribusi terhadap pengembangan kapasitas daerah yang sedang menghadapi persoalan besar di era otonomi daerah. Program best practices dianggap menjadi salah satu tools untuk mempercepat terjadinya pertukaran pengetahuan, pengalaman, ide dan gagasan antar pemerintah daerah di Indonesia dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan publik. Keberhasilan suatu daerah diharapkan menjadi pemicu bagi daerah lain untuk mengembankan hal serupa, mengingat permasalahan yang dihadapi biasanya identik dengan daerah lainnya.
Salain itu, peran dan fungsi Asosiasi Pemerintah Daerah adalah untuk melakukan advokasi terhadap kepentingan pemerintah daerah terutama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan semangat Otonomi Daerah. Forum-forum daerah yang kepentingannya lebih khusus dapat menjadi salah satu alternatif wadah peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pembentukan forum Daerah tertinggal menjadi salah satu pilihan untuk mewadahi kepentingan daerah itu sendiri.

IV. Penutup

Sebagai penutup dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Pengembangan kapasitasi Pemerintah Daerah Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tidak dapat dilakukan secara partial tanpa adanya pengembangan kapasitas dalam lingkup sistem, kelembagaan dan individu-individu.
2. Pengembangan kapasitas juga dapat diupayakan dengan mengoptimalkan wadah kerjasama Pemerintah Daerah melalui program best practices.
3. Diperlukan adanya suatu forum Pemerintah Daerah tertinggal yang memiliki peran lebih khusus dalam menyuarakan kepentingan daerah tertinggal.

Jakarta, 20 Juli 2007

Selasa, 15 September 2009

KENDALA-KENDALA KULTURAL DAN KONSTITUSIONAL DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Oleh: H. Syaukani HR

I. Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan otonomi daerah setelah diimplementasikannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak berjalan mulus. Banyak persoalan tersisa yang masih perlu dibenahi baik dari segi kebijakan maupun kelembagaannya. Disisi lain kita juga tidak menutup mata bahwa dengan adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memunculkan kreasi dan inovasi pelayanan publik diberbagai daerah yang lebih dikenal dengan best practices. Sayangnya porsi pemberitaan atas keberhasilan Daerah tersebut lebih sedikit dari pada pemberitaan buruknya kinerja pelayanan publik di Daerah.
Kondisi tersebut telah menggiring opini masyarakat bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai salah satu landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah telah gagal membawa misinya untuk menjadikan pelayanan publik lebih baik. Bahkan Daerah dianggap tidak mampu menjalankan kewenangan yang telah diserahkan oleh Pusat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga muncul keinginan kuat untuk merensentralisasi kewenangan yang telah diserahkan melalui revisi UU 22 Tahun 1999.
Mengkambinghitamkan Daerah sebagai sumber dari persoalan tersebut di atas kuranglah bijaksana. Keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya dipengaruhi oleh Daerah sebagai satu-satunya faktor determinan, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh stakeholder seperti Pemerintah Pusat, Swasta dan Masyarakat. Terlambat dan tidak lengkapnya peraturan pelaksanaan UU 22/1999 juga ikut mempengaruhi ketidak lancaran pelaksanaan otonomi daerah.
Namun upaya revisi UU 22 Tahun 1999 semakin gencar terutama dari Pemerintah dan hal ini mendapat dukungan politik dari DPR dan akhirnya keinginan merevisi undang-undang tersebut tidak terelakan lagi.
Diwarnai kontroversi dan diskusi yang cukup panjang, akhirnya UU 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Begitu juga UU 25 Tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal yang menggembirakan, revisi tersebut diperkaya dengan muatan subtansi (pasal) yang dinilai mengandung kelemahan atau yang bersifat multitafsir yang menyebabkan kesimpangsiuran dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, munculnya semangat pemilihan kepala daerah langsung juga menjadi salah satu subtansi pokok yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut.
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) dan pembagian urusan antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Terlepas dari kekurangannya, UU 32 Tahun 2004 telah melandasi proses demokrasi di daerah melalui Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang selama ini belum pernah terjadi.
Idealnya, undang-undang baru tersebut mampu menjawab berbagai persoalan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari elemen pemerintah itu sendiri. Namun Hal itu belum terbukti. Berbagai kelemahan subtansi pasal-pasal UU 32 Tahun 2004 mulai banyak menuai kritik dari berbagai elemen baik pakar, LSM maupun akademisi. Hal ini menambah keyakinan kita bahwa revisi atau penggantian sebuah undang-undang tanpa dilandasi atas evaluasi yang menyeluruh terhadap kendala-kendala yang menyertainya tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti.

II. Kendala Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Setidaknya ada dua kendala besar yang perlu segera diatasi agar tujuan otonomi daerah untuk mensejahterakan dan menjadikan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis tercapai. Kendala tersebut dapat diklasifikasikan kedalam kendala-kendala kultural dan konstitusional.

1. Kendala Kultural

Sistem sentralistik pemerintahan di Indonesia selama ini sangat kental dengan budaya patenalistik yang diwarisi oleh sistem feodal. Nilai-nilai budaya yang dianut dalam sistem ini adalah hubungan antara atasan dan bawahan seperti hubungan bapak dan anak. Pemeintah Pusat menempatkan diri sebagai atasan Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Provinsi sebagai atasan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hubungan ini menjadikan Provinsi sebagai daerah otonom membawahi kabupaten sebagai daerah otonomi lainnya. Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat.
Budaya paternalistik tidak terlepas dari sistem sentralisasi dan hegemoni penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sistem sentralistik cenderung mempengaruhi kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman hampir diseluruh tingkatan pemerintahan dan aspek kehidupan. Sebagai contoh, adalah penyeragaman terhadap program, kelembagaan, dan pengaturan desa. Struktur desa yang ada dan sudah menganut nilai-nilai lokal diseragamkan sehingga keanekaragaman budaya lokal tidak diakomodir dalam sistem birokrasi. Penyeragaman di Daerah biasanya dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan teknis seperti petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) yang menjadi “wajib” untuk dilaksanakan di Daerah.
Budaya paternalistik juga ikut menyuburkan praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan Asal Bapak Senang (ABS). Artinya, Pemerintah Daerah lebih berorientasi dan berkonsentrasi untuk memenuhi tuntutan Pemerintah Provinsi atau Pusat daripada melayani kebutuhan masyarakatnya karena adanya anggapan bahwa Pusat-lah yang dapat mengontrol dan mengintervensi daerah dalam berbagai hal. Daerah menjadi sangat tergantung oleh Pusat.
Begitu juga hubungan antara Pemerintah Daerah dan masyarakatnya, yang menempatkan aparat pemerintah (birokrat) kedalam strata sosial paling atas. Anggapan ini berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku birokrasi terhadap masyarakat yang terwujud dalam bentuk kebijakan maupun pelayanan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat setempat.
Budaya birokrasi pemerintahan yang selama ini dikembangkan lebih menekankan pada kekuasaan bukan pada pelayanan kepada masyarakatnya. Sayangnya sistem nilai yang dianut dalam budaya birokrasi sudah berjalan sekian lama sehingga banyak yang menganggap hal ini menjadi kewajaran.

2. Kendala Konstitusional

Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, otonomi daerah telah menjiwai sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara konstitusional penyelenggaraan otonomi daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Pasal tersebut kemudian, direalisasikan dengan menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah;
b. UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah;
c. UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
d. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
e. Tap MPRS No. XXI Tahun 1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah;
f. UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
g. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan
h. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang telah diterbitkan membuktikan bahwa masalah otonomi daerah dianggap sangat penting dan strategis sehingga perlu menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan politik di Indonesia baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
Ide paradigma baru penyelenggaraan otonomi daerah yang dituangkan dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah diamandemen sebanyak tiga kali merupakan upaya memperbaiki landasan yuridis pelaksanaan otonomi daerah. Namun hal itu tidak lepas dari kelemahan dan kritik dari berbagai kalangan. Menurut Koswara, Pasal 18 UUD 1945 yang telah dikembangkan menjadi tiga Pasal yaitu Pasal 18, A8A dan 18B dan terdiri dari 11 ayat mengandung beberapa kelemahan, yaitu: Pertama, tidak ada satu ayatpun yang secara ekplisit mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Kedua, Pasal 18 tidak lagi menganut asas dekonsentrasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah disamping asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketiga, Pasal 18 tidak lagi mengenal pembagian daerah, melainkan yang dibagi adalah “Negara Kesatuan RI”. Hal yang lebih menghawatirkan adalah adanya anggapan bahwa Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen terakhir bernuansa federasi, karena secara eksplisit menyatakan NKRI dibagi .
Kendala konstitusional dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat dilihat bukan hanya dari sudut UUD, tetapi juga tentang isme, ism, pandangan, pemahaman, serta ide atau doktrin untuk menapatkan satu rumusan bentuk dan pola baru mengenai manajemen kehidupan bangsa ini dengan semua sub-sistemnya, dan ingin ditata kembali menurut paradigma yang jelas, baik paradigma di tataran filosofis maupun politis dan yuridis.
Jika ingin bercermin dari kesalahan pada saat implementasi UU No. 22 Tahun 1999 adalah ketidak teraturan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pelaksanaan selain lamban dan tidak lengkap juga banyak yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Sebagai contoh dalam bidang pertanahan: adanya Keppres No. 10 Tahun 2001, Keppres 62 Tahun 2001, Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen dan terakhir melalui Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang kesemuanya bernuansa sentralistik karena tidak menyerahkan kewenangan bidang pertanahan ke daerah.
Sesuai amanat Pasal 238 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan. Artinya, puluhan perturan pelaksanaan sebagai pedoman harus ditetapkan sebelum pertengahan Oktober 2006. Namun hingga saat masih banyak PP yang belum diterbitkan termasuk PP Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pelajaran kedua yang perlu dipetik dari UU No. 22 Tahun 1999 adalah adanya undang-undang sektoral yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dan belum disesuaikan, seperti UU Kehutanan, UU Perikanan, UU Pertanian, UU Pertanahan, UU Perkebunan dll. Kenyataanya revisi terhadap undang-undang sektoral setelah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tidak mencerminkan keikhlasan Pusat untuk menyerahkan kewenangannya kepada Daerah. Sejalan dengan itu, Pasal 237 UU 32 Tahun 2004 telah mengamanatkan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan peraturannya pada undang-undang ini.
Namun, UU 32 Tahun 2004 bukan lagi menjadi undang-undang Pokok yang bisa menjadi penjuru undang-undang sektoral, sehingga kedudukannya menjadi setara.

III. OTONOMI DAERAH DAN PROSPEKNYA DI MASA MENDATANG

Terlepas dari berbagai kelemahan yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Prospek tersebut dapat terjadi dengan mengatasi berbagai kendala antara lain:
1. Belajar dari pengalaman selama ini, bahwa revisi terhadap undang-undang pemerintahan daerah sebagai wujud kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, harus melalui evaluasi yang menyeluruh dan proses perumusannya perlu melibatkan seluruh stakeholder pemerintahan.
Pembenahan konstitusional penyelenggaraan otonomi daerah dalam tataran UUD setidaknya harus dilatarbelakangi oleh perubahan paradigma filosofis, kebijakan politis, dan peraturan perundang-undangan.
2. Perlu adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
3. Birokrasi pemerintahan daerah sebagai unsur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu memiliki sikap, perilaku dan budaya yang lebih mengedepankan pelayanan dari pada dilayani. Reformasi birokrasi diseluruh tingkatan sudah menjadi keharusan dan kebutuhan.
Budaya paternalistik yang masih menonjol dalam organisasi birokrasi perlu dikikis dengan memberikan keleluasaan bagi daerah agar tumbuh kreativitas dan inovasi khususnya dalam pelayanan publik. Petunjuk-petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan bukan lagi menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan tetapi harus disikapi hanya sebagai pedoman yang fleksibel.
4. Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah. Harmonisasi peraturan perundang-undangan antara undang-undang tentang pemerintahan daerah dan undang-undang sektoral sulit untuk dilaksanakan karena kedudukannya setara, sehingga timbul gagasan untuk mengatur pembagian kewenangan antar strata pemerintahan di dalam UUD.
5. Otonomi Daerah perlu mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi, untuk itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu membuktikan bahwa otonomi daerah bukan menjadi penghambat, tetapi justru mempermudah pelayanan.

PENUTUP

Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Otonomi Daerah sebagai suatu keniscayaan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu keberhasilan otonomi daerah dapat kita lihat dari meningkatnya daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokratisasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dengan tetap menghormati kekhususan serta potensi dan keaneka ragaman daerah dalam kerangka NKRI.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 27 Maret 2006

MASALAH PENDIDIKAN & ALOKASI 20% APBD UNTUK PENDIDIKAN

Mukhlis Abidi

Sudah merupakan kenyataan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah dibanding negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Vietnam yang notabene baru saja keluar dari kancah peperangan. Akibatnya, SDM bangsa kita pun kalah bersaing dengan negara jiran tersebut.
Berdasarkan hasil survey UNDP pada tahun 2007/2008 tentang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Development Index (HDI) di 177 negara, ternyata bahwa Indonesia berada di posisi 107 dengan indeks 0,728. Sedangkan di kawasan ASEAN Indonesia menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN yang dipublikasikan. Peringkat teratas di ASEAN adalah Singapura dengan HDI 0,922, disusul Brunei Darussalam 0,894, Malaysia 0,811, Thailand 0,781, Filipina 0,771, dan Vietnam 0,733. Sedangkan Kamboja 0,598 dan Myanmar 0,583 berada di bawah HDI Indonesia.
Bila kita melihat data yang dikeluarkan UNDP di atas, menunjukan bahwa kondisi nyata kualitas dunia pendidikan di Indonesia berada di bawah Malaysia yang beberapa tahun lalu, tak sedikit warga Malaysia yang menimba ilmu di Indonesia. Saat ini justru terjadi sebaliknya dimana orang Indonesia sekarang banyak yang belajar ke Malaysia.
Kunci Keberhasilan Malaysia dalam membangun sektor pendidikan, ternyata terletak pada komitmen yang tinggi para penentu kebijakan negeri itu untuk berusaha memperbaiki kualitas SDM-nya, yaitu dengan meningkatkan kualitas sektor pendidikan, dimana pemerintah Malaysia berani menganggarkan dana dari APBN-nya lebih dari 30% untuk sektor pendidikan.
Keberhasilan Malaysia di atas, hendaknya menjadi pelajaran sangat berharga bagi penentu kebijakan di negeri ini, terutama tentang perlunya komitmen segenap komponen bangsa untuk memperbaiki buruknya kualitas SDM bangsa ini, sesuai amanat UUD 45 pasal 31 ayat (4) yang menyatakan: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Keinginan kuat bangsa Indonesia memperbaiki kualitas SDM melalui perbaikan sektor pendidikan tersebut, ternyata belum berjalan sebagaimana mestinya, karena beberapa tahun terakhir anggaran sektor pendidikan dalam APBN masih di bahwah 20%. Namun, setelah melalui perjalanan cukup panjang disertai gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi, akhirnya pemerintah memenuhi amanat UUD 45 dengan merencanakan 20% anggaran pendidikan dalam APBN 2009.
Komitmen tersebut, telah dipertegas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan saat menyampaikan RUU RAPBN Tahun Anggaran 2009 yang disertai nota keuangan dalam Sidang Paripurna Terbuka DPR. Selanjutnya dalam pidato di hadapan Sidang Paripurna DPD-RI, Presiden juga meminta kepada segenap Kepala Daerah mengalokasikan dana 20% dari APBD-nya untuk sektor pendidikan.
Perintah Presiden kepada Pemerintah Daerah di atas sangat beralasan, mengingat kualitas pendidikan di sebagian besar Daerah masih sangat rendah. Rendahnya kualitas sektor pendidikan tersebut disebabkan pembangunan sektor pendidikan masih belum menjadi prioritas, mengingat hingga tahun anggaran 2008 baru sekitar 10% atau sebanyak 44 Daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai dengan UUD. Sedangkan selebihnya, masih mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 10%, bahkan beberapa diantaranya masih ada yang menganggarkan di bawah 5%.
Selain itu, rendahnya mutu pendidikan khususnya di Daerah, juga dipengaruhi oleh masalah kuantitas dan kualitas guru, terbatasnya fasilitas penunjang proses pendidikan, seperti alat peraga dan laboratorium di sekolah-sekolah. Sementara itu, hal yang juga cukup penting namun kurang mendapat perhatian adalah terbatasnya akses masyarakat terhadap perpustakaan di daerah.
Terkait dengan persoalan pendidikan nasional di atas, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, mampukah besarnya dana tersebut memperbaiki kualitas pendidikan negeri ini? Benarkah minimnya dana menjadi sebab utama rendahnya kualitas pendidikan negeri ini? Dengan memperhatikan kewenangan/urusan Pusat, Provinsi dan Daerah di sektor pendidikan, bagaimanakah strategi Pemerintah dalam mengoptimalkan pemanfaatan dana sebesar itu? Bagaimana mensinergikan penyerapan dana dari APBN dan APBD atau antara program Pusat dengan Daerah di sektor pendidikan? Bagaimana mengoptimalkan peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan? Mampukah dana tersebut diserap oleh berbagai program yang sesuai dengan kebutuhan rakyat akan pendidikan? Dan sederet pertanyaan lainnya.
Dari gambaran di atas, maka kita semua mempunyai tugas lanjutan yang lebih besar, yaitu bagaimana menumbuhkembangkan kesadaran akan arti pentingnya pendidikan di tengah-tengah roda jaman yang bergerak begitu cepat. Tentunya bukan sekadar dari sisi anggaran, tetapi juga dimulai dari peningkatan budaya belajar mengajar, termasuk meningkatkan budaya membaca sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pembudayaan Kegemaran Membaca (PKM) dengan melibatkan Pemerintah, Satuan Pendidik (Satdik) dan Masyarakat.
Peran ketiga unsur tersebut sangatlah signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat dilakukan melalui penyediaan buku murah dan berkualitas. Sedangkan, Satuan Pendidikan (Satdik) memiliki peran dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai proses pembelajaran. Sementara masyarakat dapat berperan dengan menyediakan sarana perpustakaan di tempat umum yang mudah dijangkau, murah dan bermutu