Rabu, 16 September 2009

PENINGKATAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

DR. M. P. TUMANGGOR,
KETUA UMUM BKKSI

I. Pendahuluan

Berdasarkan surat Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Nomor: 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan sebanyak 199 Kabupaten sebagai Daerah Tertinggal. Dari 199 Kabupaten tersebut sebanyak 62% atau 123 Kabupaten berada di Kawasan Timur Indonesia. Sedangkan sisanya berada di wilayah Sumatera yaitu sebesar 29% (58 Kabupaten) serta Jawa dan Bali sebanyak 18 Kabupaten (9%).
Penetapan 199 Kabupaten sebagai daerah tertinggal, dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik.
Jika merujuk pada definisi daerah tertinggal sebagaimana dinyatakan dalam Kepmen PDT diatas, dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh Kabupaten di Indonesia relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal.
Secara umum permasalahan yang ada di Daerah tertinggal adalah kualitas SDM yang relatif lebih rendah di bawah rata-rata nasional. Hal ini diakibatkan terbatasnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Sedangkan daerah tertinggal yang letaknya terpencil, permasalahannya ada pada kelangkaan sarana dan prasarana yang tersedia. Khusus daerah tertinggal yang berada di daerah perbatasan antar negara yang berjumlah 26 Kabupaten, pendekatan pembangunannya lebih menekankan pada aspek keamanan (security approach) dari pada berorientasi sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan yang sangat lebar dengan daerah perbatasan negara lain. Selain masalah tersebut, keterbatasan akses permodalan, pasar, informasi dan teknologi bagi upaya pengembangan ekonomi lokal juga menjadi masalah tersendiri. Disamping terdapat gangguan keamanan dan bencana yang menyebabkan kondisi daerah tidak kondusif untuk berkembang.

II. Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas Daerah Tertinggal

Untuk memperkecil jumlah Kabupaten yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, Pemerintah sedang melaksanakan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), yaitu sebuah program yang memfasilitasi pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan dan pengembangan daerah-daerah tertinggal dan khusus.
Salah satu strategi yang diterapkan adalah adalah dengan memperkuat kapasitas pemerintah kabupaten agar mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Peningkatan kapasitas, diarahkan untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah daerah dan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yang pada hakekatnya memberikan kewenangan pembangunan daerah kepada Provinsi maupun Kabupaten/Kota, sedangkan Pemerintah berfungsi sebagai, motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan pada daerah tertinggal.
Pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam upya mepercepat pembangunan daerah tertinggal secara efektif dan berkelanjutan tidak dapat dilakukan hanya dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan dan aparat Pemerintah Daerah saja, tanpa diimbangi dengan perubahan sistem yang lebih baik. Dengan demikian, pengembangan dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah mencakup:
1. Perlunya perubahan sistem dengan menata kembali sejumlah aturan dan kebijakan-kebijakan nasional yang mendukung program-program percepatan pembangunan, mengingat selama ini kebijakan pembangunan pada masa lalu lebih berpusat pada pertumbuhan ekonomi semata sehingga berdampak pada kesenjangan yang begitu tajam antar daerah.
2. Pengembangan kapasitas pada tingkat kelembagaan di daerah, yang mencakup perbaikan struktur organisasi, proses-proses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme kerja, instrumen manajemen, tidak akan berhasil efektif tanpa diimbangi dengan penataan kelembagaan lainnya, seperti Pemerintah Pusat, dunia usaha, masyarakat terkait, hingga lembaga donor dan unsur masyarakat.
Hal ini diperlukan untuk memberikan ruang kepada seluruh stakeholder agar dapat memberikan kontribusi dan peran masing-masing. Walaupun selama ini, banyak program-program yang dilakukan oleh lembaga di luar pemerintah seperti lembaga donor, perguruan tinggi dan LSM namun belum terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. Sehingga seringkali hanya daerah-daerah tertentu saja yang mendapat bantuan program dari lembaga donor.
3. Pengembangan kapasitas pada tingkat sumber daya manusia perlu diawali dengan peningkatan kemampuan aparat pemerintah daerah. Sebagai unsur terdepan birokrasi yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Peningkatan kapasitas aparat Pemda diarahkan agar lebih responsif terhadap tantangan dan peluang baru, tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin dan memiliki gagasan-gagasan inovatif. Aparat Pemda juga harus memiliki kompetensi memberikan pelayanan secara adil dan inklusif, serta kemampuan untuk memberdayakan masyarakat atau stakeholders. Maka hal yang paling mendasar untuk mereformasi birokrasi pemerintah (Stephen H. Rhinesmith; 1966) adalah bagaimana bisa mengubah mindset dan perilaku dan para pelaku birokrasi publik. Untuk itu diperlukan suatu perubahan norma atau nilai-nilai pelayanan kepada birokrasi berupa perubahan budaya (mindset) pelayanan yang jauh lebih humanis, egalitarian, dan nondiskriminatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

III. Peran Asosiasi/Badan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Peningkatan Kapasitas Daerah Tertinggal

Pengembangan dan peningkatan kapasitas daerah tertinggal dapat diupayakan dengan pendekatan kerjasama antar daerah melalui pertukaran informasi, pengalaman dan keahlian yang dikemas dalam program Best Practices Transfer. Salah satu negara di Asia yang melaksanakan program ini adalah negara bagian Gujarat di India yang difasilitasi oleh City Manager Association of Gujarat (CMAG). CMAG menyelenggarakan forum pertukaran best practices antar pemerintah daerah dalam bidang pelayanan publik, pelayanan kesehatan, infrastruktur, dll. Sedangkan di Indonesia, Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) juga mengadopsi progam tersebut.
Program best practices transfer pada dasarnya merupakan salah satu upaya memberikan kontribusi terhadap pengembangan kapasitas daerah yang sedang menghadapi persoalan besar di era otonomi daerah. Program best practices dianggap menjadi salah satu tools untuk mempercepat terjadinya pertukaran pengetahuan, pengalaman, ide dan gagasan antar pemerintah daerah di Indonesia dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan publik. Keberhasilan suatu daerah diharapkan menjadi pemicu bagi daerah lain untuk mengembankan hal serupa, mengingat permasalahan yang dihadapi biasanya identik dengan daerah lainnya.
Salain itu, peran dan fungsi Asosiasi Pemerintah Daerah adalah untuk melakukan advokasi terhadap kepentingan pemerintah daerah terutama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan semangat Otonomi Daerah. Forum-forum daerah yang kepentingannya lebih khusus dapat menjadi salah satu alternatif wadah peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Pembentukan forum Daerah tertinggal menjadi salah satu pilihan untuk mewadahi kepentingan daerah itu sendiri.

IV. Penutup

Sebagai penutup dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Pengembangan kapasitasi Pemerintah Daerah Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tidak dapat dilakukan secara partial tanpa adanya pengembangan kapasitas dalam lingkup sistem, kelembagaan dan individu-individu.
2. Pengembangan kapasitas juga dapat diupayakan dengan mengoptimalkan wadah kerjasama Pemerintah Daerah melalui program best practices.
3. Diperlukan adanya suatu forum Pemerintah Daerah tertinggal yang memiliki peran lebih khusus dalam menyuarakan kepentingan daerah tertinggal.

Jakarta, 20 Juli 2007

2 komentar: