Selasa, 15 September 2009

KENDALA-KENDALA KULTURAL DAN KONSTITUSIONAL DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Oleh: H. Syaukani HR

I. Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan otonomi daerah setelah diimplementasikannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak berjalan mulus. Banyak persoalan tersisa yang masih perlu dibenahi baik dari segi kebijakan maupun kelembagaannya. Disisi lain kita juga tidak menutup mata bahwa dengan adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memunculkan kreasi dan inovasi pelayanan publik diberbagai daerah yang lebih dikenal dengan best practices. Sayangnya porsi pemberitaan atas keberhasilan Daerah tersebut lebih sedikit dari pada pemberitaan buruknya kinerja pelayanan publik di Daerah.
Kondisi tersebut telah menggiring opini masyarakat bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai salah satu landasan konstitusional pelaksanaan otonomi daerah telah gagal membawa misinya untuk menjadikan pelayanan publik lebih baik. Bahkan Daerah dianggap tidak mampu menjalankan kewenangan yang telah diserahkan oleh Pusat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga muncul keinginan kuat untuk merensentralisasi kewenangan yang telah diserahkan melalui revisi UU 22 Tahun 1999.
Mengkambinghitamkan Daerah sebagai sumber dari persoalan tersebut di atas kuranglah bijaksana. Keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah bukan hanya dipengaruhi oleh Daerah sebagai satu-satunya faktor determinan, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh stakeholder seperti Pemerintah Pusat, Swasta dan Masyarakat. Terlambat dan tidak lengkapnya peraturan pelaksanaan UU 22/1999 juga ikut mempengaruhi ketidak lancaran pelaksanaan otonomi daerah.
Namun upaya revisi UU 22 Tahun 1999 semakin gencar terutama dari Pemerintah dan hal ini mendapat dukungan politik dari DPR dan akhirnya keinginan merevisi undang-undang tersebut tidak terelakan lagi.
Diwarnai kontroversi dan diskusi yang cukup panjang, akhirnya UU 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Begitu juga UU 25 Tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal yang menggembirakan, revisi tersebut diperkaya dengan muatan subtansi (pasal) yang dinilai mengandung kelemahan atau yang bersifat multitafsir yang menyebabkan kesimpangsiuran dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, munculnya semangat pemilihan kepala daerah langsung juga menjadi salah satu subtansi pokok yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut.
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai penggantinya ternyata masih juga menuai pro-kontra. Kondisi demikian dapat kita lihat melalui berbagai substansi pasal-pasal yang terkandung didalamnya, terutama sekali tentang pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) dan pembagian urusan antar pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Terlepas dari kekurangannya, UU 32 Tahun 2004 telah melandasi proses demokrasi di daerah melalui Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang selama ini belum pernah terjadi.
Idealnya, undang-undang baru tersebut mampu menjawab berbagai persoalan yang telah digulirkan berbagai kalangan baik masyarakat maupun dari elemen pemerintah itu sendiri. Namun Hal itu belum terbukti. Berbagai kelemahan subtansi pasal-pasal UU 32 Tahun 2004 mulai banyak menuai kritik dari berbagai elemen baik pakar, LSM maupun akademisi. Hal ini menambah keyakinan kita bahwa revisi atau penggantian sebuah undang-undang tanpa dilandasi atas evaluasi yang menyeluruh terhadap kendala-kendala yang menyertainya tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti.

II. Kendala Kendala Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Setidaknya ada dua kendala besar yang perlu segera diatasi agar tujuan otonomi daerah untuk mensejahterakan dan menjadikan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis tercapai. Kendala tersebut dapat diklasifikasikan kedalam kendala-kendala kultural dan konstitusional.

1. Kendala Kultural

Sistem sentralistik pemerintahan di Indonesia selama ini sangat kental dengan budaya patenalistik yang diwarisi oleh sistem feodal. Nilai-nilai budaya yang dianut dalam sistem ini adalah hubungan antara atasan dan bawahan seperti hubungan bapak dan anak. Pemeintah Pusat menempatkan diri sebagai atasan Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Provinsi sebagai atasan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hubungan ini menjadikan Provinsi sebagai daerah otonom membawahi kabupaten sebagai daerah otonomi lainnya. Sentralisme birokrasi telah membentuk pola pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku dan menjadi tidak responsif terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat.
Budaya paternalistik tidak terlepas dari sistem sentralisasi dan hegemoni penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sistem sentralistik cenderung mempengaruhi kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman hampir diseluruh tingkatan pemerintahan dan aspek kehidupan. Sebagai contoh, adalah penyeragaman terhadap program, kelembagaan, dan pengaturan desa. Struktur desa yang ada dan sudah menganut nilai-nilai lokal diseragamkan sehingga keanekaragaman budaya lokal tidak diakomodir dalam sistem birokrasi. Penyeragaman di Daerah biasanya dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan teknis seperti petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) yang menjadi “wajib” untuk dilaksanakan di Daerah.
Budaya paternalistik juga ikut menyuburkan praktik-praktik penyelenggaraan pemerintahan Asal Bapak Senang (ABS). Artinya, Pemerintah Daerah lebih berorientasi dan berkonsentrasi untuk memenuhi tuntutan Pemerintah Provinsi atau Pusat daripada melayani kebutuhan masyarakatnya karena adanya anggapan bahwa Pusat-lah yang dapat mengontrol dan mengintervensi daerah dalam berbagai hal. Daerah menjadi sangat tergantung oleh Pusat.
Begitu juga hubungan antara Pemerintah Daerah dan masyarakatnya, yang menempatkan aparat pemerintah (birokrat) kedalam strata sosial paling atas. Anggapan ini berpengaruh terhadap sikap dan tingkah laku birokrasi terhadap masyarakat yang terwujud dalam bentuk kebijakan maupun pelayanan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat setempat.
Budaya birokrasi pemerintahan yang selama ini dikembangkan lebih menekankan pada kekuasaan bukan pada pelayanan kepada masyarakatnya. Sayangnya sistem nilai yang dianut dalam budaya birokrasi sudah berjalan sekian lama sehingga banyak yang menganggap hal ini menjadi kewajaran.

2. Kendala Konstitusional

Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, otonomi daerah telah menjiwai sistem ketatanegaraan Indonesia. Secara konstitusional penyelenggaraan otonomi daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. Pasal tersebut kemudian, direalisasikan dengan menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah;
b. UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah;
c. UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
d. UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
e. Tap MPRS No. XXI Tahun 1966 tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah;
f. UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
g. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan
h. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah yang telah diterbitkan membuktikan bahwa masalah otonomi daerah dianggap sangat penting dan strategis sehingga perlu menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan politik di Indonesia baik dalam skala lokal, nasional maupun global.
Ide paradigma baru penyelenggaraan otonomi daerah yang dituangkan dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah diamandemen sebanyak tiga kali merupakan upaya memperbaiki landasan yuridis pelaksanaan otonomi daerah. Namun hal itu tidak lepas dari kelemahan dan kritik dari berbagai kalangan. Menurut Koswara, Pasal 18 UUD 1945 yang telah dikembangkan menjadi tiga Pasal yaitu Pasal 18, A8A dan 18B dan terdiri dari 11 ayat mengandung beberapa kelemahan, yaitu: Pertama, tidak ada satu ayatpun yang secara ekplisit mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Kedua, Pasal 18 tidak lagi menganut asas dekonsentrasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah disamping asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketiga, Pasal 18 tidak lagi mengenal pembagian daerah, melainkan yang dibagi adalah “Negara Kesatuan RI”. Hal yang lebih menghawatirkan adalah adanya anggapan bahwa Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen terakhir bernuansa federasi, karena secara eksplisit menyatakan NKRI dibagi .
Kendala konstitusional dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat dilihat bukan hanya dari sudut UUD, tetapi juga tentang isme, ism, pandangan, pemahaman, serta ide atau doktrin untuk menapatkan satu rumusan bentuk dan pola baru mengenai manajemen kehidupan bangsa ini dengan semua sub-sistemnya, dan ingin ditata kembali menurut paradigma yang jelas, baik paradigma di tataran filosofis maupun politis dan yuridis.
Jika ingin bercermin dari kesalahan pada saat implementasi UU No. 22 Tahun 1999 adalah ketidak teraturan peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Peraturan pelaksanaan selain lamban dan tidak lengkap juga banyak yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Sebagai contoh dalam bidang pertanahan: adanya Keppres No. 10 Tahun 2001, Keppres 62 Tahun 2001, Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen dan terakhir melalui Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang kesemuanya bernuansa sentralistik karena tidak menyerahkan kewenangan bidang pertanahan ke daerah.
Sesuai amanat Pasal 238 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan. Artinya, puluhan perturan pelaksanaan sebagai pedoman harus ditetapkan sebelum pertengahan Oktober 2006. Namun hingga saat masih banyak PP yang belum diterbitkan termasuk PP Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pelajaran kedua yang perlu dipetik dari UU No. 22 Tahun 1999 adalah adanya undang-undang sektoral yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dan belum disesuaikan, seperti UU Kehutanan, UU Perikanan, UU Pertanian, UU Pertanahan, UU Perkebunan dll. Kenyataanya revisi terhadap undang-undang sektoral setelah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tidak mencerminkan keikhlasan Pusat untuk menyerahkan kewenangannya kepada Daerah. Sejalan dengan itu, Pasal 237 UU 32 Tahun 2004 telah mengamanatkan bahwa semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan peraturannya pada undang-undang ini.
Namun, UU 32 Tahun 2004 bukan lagi menjadi undang-undang Pokok yang bisa menjadi penjuru undang-undang sektoral, sehingga kedudukannya menjadi setara.

III. OTONOMI DAERAH DAN PROSPEKNYA DI MASA MENDATANG

Terlepas dari berbagai kelemahan yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat merupakan suatu keniscayaan yang diharapkan dapat memenuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Prospek tersebut dapat terjadi dengan mengatasi berbagai kendala antara lain:
1. Belajar dari pengalaman selama ini, bahwa revisi terhadap undang-undang pemerintahan daerah sebagai wujud kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, harus melalui evaluasi yang menyeluruh dan proses perumusannya perlu melibatkan seluruh stakeholder pemerintahan.
Pembenahan konstitusional penyelenggaraan otonomi daerah dalam tataran UUD setidaknya harus dilatarbelakangi oleh perubahan paradigma filosofis, kebijakan politis, dan peraturan perundang-undangan.
2. Perlu adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
3. Birokrasi pemerintahan daerah sebagai unsur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu memiliki sikap, perilaku dan budaya yang lebih mengedepankan pelayanan dari pada dilayani. Reformasi birokrasi diseluruh tingkatan sudah menjadi keharusan dan kebutuhan.
Budaya paternalistik yang masih menonjol dalam organisasi birokrasi perlu dikikis dengan memberikan keleluasaan bagi daerah agar tumbuh kreativitas dan inovasi khususnya dalam pelayanan publik. Petunjuk-petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan bukan lagi menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan tetapi harus disikapi hanya sebagai pedoman yang fleksibel.
4. Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah. Harmonisasi peraturan perundang-undangan antara undang-undang tentang pemerintahan daerah dan undang-undang sektoral sulit untuk dilaksanakan karena kedudukannya setara, sehingga timbul gagasan untuk mengatur pembagian kewenangan antar strata pemerintahan di dalam UUD.
5. Otonomi Daerah perlu mendapatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi, untuk itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu membuktikan bahwa otonomi daerah bukan menjadi penghambat, tetapi justru mempermudah pelayanan.

PENUTUP

Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Otonomi Daerah sebagai suatu keniscayaan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu keberhasilan otonomi daerah dapat kita lihat dari meningkatnya daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokratisasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dengan tetap menghormati kekhususan serta potensi dan keaneka ragaman daerah dalam kerangka NKRI.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 27 Maret 2006

1 komentar: